Selompret Hidoep

Sunday, October 02, 2005

engkau itu siapa?

Wanita dalam sakratulmaut menghadapi ajalnya. Ia tiba-tiba merasa, bahwa ia dibawa ke surga dan berdiri di muka Takhta Pengadilan. "Siapa engkau itu?" kata suara kepadanya. "Aku ini istri lurah," jawabnya. "Aku tidak bertanya kepadamu, engkau istri siapa, tetapi engkau itu siapa?" "Aku ini ibu empat orang anak." "Aku tidak bertanya, engkau ibunya siapa, tetapi siapa engkau itu?" "Aku ini guru di sekolah." "Aku tidak menanyakan pekerjaanmu, tetapi siapa engkau itu."

Dan demikianlah seterusnya. Tidak peduli apa yang menjadi jawabannya, rupanya itu bukan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan: "Engkau itu siapa?" "Aku ini seorang Kristen." "Aku tidak menanyakan agamamu, tetapi engkau itu siapa." "Aku ini seseorang, yang tiap hari pergi ke gereja dan selalu membantu orang miskin dan orang dalam kesulitan." "Aku tidak menanyakan perbuatanmu, tetapi siapa engkau itu."

Ia jelas gagal dalam ujian, oleh karena itu ia dikirim kembali ke dunia. Ketika sembuh dari sakitnya ia berniat menemukan siapa dia. Dan itulah yang membuat segalanya berbeda sama sekali.

Tugasmu itu berada. Tidak menjadi seseorang atau bukan apa-apa - sebab disitu ada keserakahan dan ambisi - tidak menjadi ini dan itu; - dengan demikian menjadi bersyarat - tetapi hanya ada saja.

Anthony de Mello,SJ
*doa sang katak*

Image hosted by Photobucket.comMenjadi seorang *aku* terkadang menimbulkan kesibukan diri untuk terus *mempersolek diri* dengan banyak tuntutan diri dan orang lain. Memiliki kebanggaan bisa melakukan ini dan itu, memiliki pekerjaan ini dan itu, memiliki hobi ini dan itu, memiliki benda benda ini dan itu, seakan menjadi tempelan tempelan yang wajib terus dicari dan diincar untuk mempersolek wujud *sang aku* yang semakin baik dan pantas, paling tidak untuk berkaca pada diri sendiri, sebelum si *aku* dilihat oleh orang lain. Timbunan *aku* yang sedang bersolek ini semakin tebal dan terus dicari sehingga seakan akan *aku* menjadi tak ada tanpa solekan diwajahku. Pertanyaan *siapakah aku ini?* menjadi punya jawaban..bahwa aku adalah profesiku, aku adalah hebatku, aku adalah kegemaran dan hobiku, aku adalah gelarku, aku adalah pekerjaanku. Adanya seorang diriku hanya mungkin ada apabila aku...bla bla bla..apabila aku bli bli bli....apabila aku blu blu blu...(semuanya bersyarat...jika..apabila...)
Lama kelamaan menjadi timbunan timbunan keserakahan dan ambisi untuk terus bersolek, sementara sang *aku* terlantar diam tanpa gerak diatas lantai bernama *kejujuran batin*.

Bukankah adanya diriku saja sudah merupakan anugerah? tanpa harus dibebani tuntutan tuntutan yang harus semakin bersolek memenuhi tuntuan zaman? Karena tugasku itu *ber-ADA*
Tidak menjadi seseorang atau bukan apa-apa - sebab disitu menjadi ada keserakahan dan ambisi - kuatir dan takut karena tidak menjadi ini dan itu, dengan demikian segalanya menjadi bersyarat.
*Ada*mu dan *Ada*ku adalah sebuah anugerah! Mengapa kita lalai mensyukurinya?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home