Puisi adalah lagu. Dan lagu itu juga sebuah puisi. Itulah kesimpulan singkat yang saya ambil setelah saya mendengarkan sebuah CD musikalisasi puisi bertajuk *gadis kecil* karya Tatyana dan Reda (produksi Dua Ibu 2005). Musikalisasi puisi adalah suatu penciptaan (kembali) karya puisi yang dikemas dalam sebuah lagu, dimana bait-bait puisi menjadi syairnya. Musikalisasi sebuah puisi menjadikan sebuah puisi *lahir dua kali*. Kelahiran pertama adalah kelahiran bait-baitnya dari *rahim* sang pencipta puisi, dan kelahirannya yang kedua adalah dari *rahim* sang komposer, pencipta musik,penyanyi serta pemain instrumen musiknya.
Ini tidak mudah, karena pemberi nuansa musik dalam musikalisasi puisi (komposer) bukanlah si pencipta puisi itu sendiri, tetapi orang lain yang mencoba memahami bait-bait puisi untuk dimasukkan dalam kerangka melodi sebuah lagu. Tidak mudah juga, karena puisi itu sendiri pada awalnya sudah merupakan sebuah *irama* yang tak bernada yang diciptakan oleh penulisnya. Adalah tugas seorang komposer/pencipta lagu yang memakai sebuah puisi menjadi syairnya untuk membunyikan nada yang belum dimainkan dalam ruh sebuah puisi untuk kemudian diterjemahkan dalam komposisi nada dan dinamika. Tak jarang, musikalisasi puisi menjadi suatu *kelahiran yang gagal*. Kegagalan ini karena musik yang dibuat justru *mengubur* roh / jiwa puisi yang sudah ada terlebih dahulu. Makna dalam puisi menjadi tidak tampak, terkurubur dalam riuhnya musik karena kesalahpahaman interpretasi makna.
Dalam musikalisasi puisi, sebuah puisi dengan bait-bait kalimatnya memang menjadi *tuan* dalam sebuah lagu. Musik dengan segala dinamika, nada, tempo, harus takluk dalam makna sebuah puisi yang sudah terlahir terlahir / tercipta terlebih dahulu. Perlu kebesaran hati sebuah pencipta musikalisasi puisi untuk berdialog dengan pencipta puisi sehingga ia dapat membahasakan kembali makna sebuah puisi dalam hadirnya sebuah lagu yang akan ia ciptakan. Puisi puisi Sapardi, bagi saya cenderung tenang, romantis, sederhana dalam pemilihan kata, namun tetap bermakna dalam. Dalam ciri khas inilah seorang komposer musikalisasi puisi ditantang untuk menghadirkan kembali puisi-puisi Sapardi tanpa kehilangan ruh puisi Sapardi yang tenang, romantis, sederhana, namun dalam makna. Selintas saya terbayang bila ada karya musikalisasi puisi yang mengangkat bait-bait syair dari puisi mbeling Remy Sylado. Sekalipun saya belum pernah mendengarnya, tapi saya membayangkan sebuah karya musikalisasi puisi yang jenaka, nyeleneh, aneh, musik yang tak terduga, kontemporer namun tetap punya pola, membuat pendengarnya tertawa namun sekaligus mentertawakan dirinya sendiri.Bayangan saya sesuai dengan khas puisi mbeling Remy yang *mbeling* (aneh, tak sesuai aturan, berbeda, tak seperti pada umumnya). Demikian pula musik yang saya bayangkan adalah musik yang serupa dengan gaya bahasa puisinya.
Mendengarkan sebuah karya musikalisasi puisi, bagi sebagian orang yang kurang akrab dengan karya seni puisi, dapat menjadi suatu awal yang sulit untuk mencerna makna sebuah karya musikalisasi puisi. Penikmat karya perlu sedikit cerdas, tak hanya cerdas menikmati melodi lagu, tapi juga cerdas mengaolah makna. Karena makna harus digali dari bait bait syair yang nota bene adalah sebuah puisi yang tak rela begitu saja membahasakan makna dengan mudah dan gamblang. Makna besembunyi dibalik kata-kata, simbol, rima suku kata, seperti layaknya bahasa puisi yang tersirat dan tak begitu saja dengan mudahnya mengungkapkan makna. Kadang kita harus menduga-duga, berimajinasi seolah – olah aku adalah sang Sapardi Djoko Damono, sang Sutardji Calzoum Bachri, atau aku adalah Chairil Anwar. Lalu kemudian mengakrabi musiknya, seiring dengan *musik syair* yang sudah ada. Tak ada salahnya membaca terlebih dahulu bait syairnya, sebelum mendengarkan lagunya. Semoga tidak terlalu membuat dahi anda berlipat ketika mendengarkan sebuah musikalisasi puisi.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, musikalisasi puisi memang sesuatu yang belum banyak dikenall. Jenis kreativitas seni ini lebih dikenal di kalangan pelaku / penikmat sastra / budaya, bengkel teater, mahasiswa ilmu sastra / budaya, dan semacamnya. Apakah ini menandakan masyarakat Indonesia sulit menerima suatu musik yang memiliki bait syair yang relatif sulit dicerna? (karena tersirat dan bermakna dalam?). Sekiranya hal ini tak sepenuhnya benar, ketika terlintas di benak saya, lagu-lagu ciptaan Katon Bagaskara dalam kelompok musik yang kini sudah membubarkan diri -Kla Project-. Kla Project dengan Katon di dalamnya, berhasil menghadirkan lagu dengan lirik lirik puitis dan dalam pada setiap karyanya. Cermatilah salah satu lagu mereka di bawah ini ;
Lara Melanda(dari album Kla “kedua” Project)Berada di tepi keraguanTebing bayangmu sesekali luruh juaTercipta nelangsa di pucuk rerumputanoh.. harumnya dukakuditiup semilir sikapmu menduaMenghitung bintang satu-satusesukar meraba lelikuan sifatmuberkali diri ini, terpaksa jatuhpada jurangnya bimbangdan asa yang tercecer, sempat bertanyaSenyum atau merahkah kau tawarkan ?bagi jiwa dahaga 'smaraaku ini lelaki kecil dalamkurun waktu berlaluLalu merenung, mencari seberkas bayangmuUntuk kulukis di cermin mataku(Keunikan ini yang membuat saya menyukai karya karya musik Kla Project dan juga Katon Bagaskara). Lirik puitis lagu di atas cukup dapat menjadi sebuah lagu populer yang albumnya meledak di pasaran Indonesia. Merupakan suatu tanda, bila Kla Project berhasil mengusung lagu-lagunya dengan bait-bait syair puitis, musikalisasi puisi juga perlahan lahan dapat diterima sebagai konsumsi masyarakat pop Indonesia, yang (mudah-mudahan) memiliki pilihan selera lirik lagu yang semakin puitis dan berseni.

Menyenangkan bagi saya, mendengar komposer – komposer Umar Musilim dan AGS Arya Dipayana berhasil *mendeklamasikan* puisi – puisi karya Sapardi Djoko Damono dalam CD musikalisasi puisi bertajuk *Gadis Kecil*. Karya AGS Arya Dipayana terasa lebih menyentuh dan melankolis, menghidupkan syair puisi Sapardi, telebih pada karya favorit saya, “Hatiku Selembar Daun”. Pilihan instrumen musik gitar, flute serta bass adalah sebuah pilihan sangat tepat. Instrumen tersebut berhasil mengawal nada dalam lorong reflektif, tenang , juga riang namun tanpa bising, sehingga syair puisi tetap menjadi *raja* dalam setiap lagu. Juga suara dua ibu, Reda Gaudiamo dan Tatyana Soebianto yang juga ikut dalam *pendeklamasian* puisi karya Sapardi di panggung bernama musikalisasi puisi ini. Suara mereka yang terdengar berjenis suara country menjadi sangat pas untuk menyanyikan lagu-lagu musikalisasi puisi. Tidak butuh suara penyanyi yang bervibrasi atau sejenis seriosa. Juga tak butuh suara yang terlalu ekspresif seperti layaknya penyanyi opera. Sebuah suara pas yang sederhana, yang menyanyikan nada dengan tepat, tanpa harus berusaha keras menyampaikan maknanya pada pendengar, karena syairnya sudah mengekspresikan banyak makna tersirat. Adalah tugas pendengar dan penikmat musikalisasi puisi untuk menafsirkan makna lagu dalam konteks maksud penyair atau minimal dalam konteks tafsir pribadi si pendengar.
Dari CD inilah saya baru mulai mengintip dan mencoba berkenalan dengan Sapardi Djoko Damono, sang tuan penyair dalam CD ini. Sebuah buku kumpulan puisi Sapardi bertajuk *Hujan Bulan Juni* menambah koleksi buku saya di rumah, yang saya beli tak lama setelah penasaran ingin tahu puisi indah apa lagi yang sudah pernah Sapardi buat selama ini.
Sedikit gatal juga mendengar Reda dan Tatyana menarik nafas pada sepenggal kalimat lagu yang sayang sekali bila harus terputus karena sebuah tarikan nafas. Misalnya, dalam lagu *Aku Ingin*.
Aaaaaaku ingin, mencintaimu, dengan sederhana.Kata *Aku* yang memang berawal dengan nada legatura panjang dengan awalan suku kata *aaaaa*, harus diputus dengan suku kata *-ku* yang mengikutinya. Padahal kata *aku* adalah kata pendek yang sayang bila begitu saya diputus dengan sebuah pengambilan nafas penyanyi. Akan lebih baik bila penyanyi sebelum memulai kalimat dalam bait ini, mengambil nafas diafragma agak dalam, sehingga sampai menyanyikan kata *aku* tanpa harus diputus.
Demikian juga dengan bagian ini ;
Aku ingin mencintaimu dengan sederhanaDengan isyarat yang tak sempatDiungkapkan kayu kepada api yang men…..jadikannya abuKata *menjadikannya* juga diputus oleh penyanyi dengan terikan sebuah nafas kecil. (men….*nafas* jadikannya abu) Tetap terdengar mengganggu. Akan lebih baik bila bisa tanpa pengambilan nafas. Klimaks bait menjadi kurang tercipta, karena saat hampir tuntas melagukan akhir bait, terpaksa harus mendengarkan tarikan nafas kecil penyanyi yang seakan akan menyandung perjalanan klimaks nada lagu.
Pemenggalan kalimat nampaknya perlu mendapat perhatian lebih bagi penyanyi album ini, agar sebuah kalimat tak harus hilang keutuhannya hanya karena tarikan nafas dalam penyanyi yang seharusnya bisa disiasati dengan pengambilan teknik bernafas yang lebih tepat dan siap.
Namun hal kecil ini tak cukup mengganggu saya untuk memutar berkali kali CD musikalisasi puisi karya dua ibu ini. Dan saya menjadi tidak sabar, menunggu album kedua mereka.