Selompret Hidoep

Friday, June 17, 2005

melepas genggaman

kemarin aku ambil satu gelas. terus..aku isi penuh air putih dari dispenser kantor. terus gelasnya aku angkat sampai persis di depan wajahku. terus aku pandangin gelas itu…sambil tentunya terus aku pegang. satu menit..dua menit…ga berasa apa apa. biasa lah..apa sih beratnya ngangkat satu gelas biasa berisi air putih? lima menit…mulai sedikit berasa. di lengan atas nih..mulai agak2 berasa kesemutan. makin berasa pegel di pangkal tangan, makin jari-jari aku pegang erat gelasnya. jangan sampai gelas itu jatuh hanya gara-gara aku ga tahan pegel di tangan. 10 menit…megang gelas itu…kayaknya aku ga bisa bilang *ah enteng*…makin lama makin berat karena siku aku mulai ngilu nahan pegel di pangkal tangan yang ternyata turun ke siku. 15 menit berlalu..makin erat aku pegang gelasnya tapi juga makin berat lenganku, bahkan sampai di pergelangan tangan aku….aduuuuuuuuhh..makin berat..padahal hanya satu gelas air putih..tapi kenapa makin berat..??!! hatiku juga jadi gelisah..kok bisa sih makin berat?? dan sakit?? kesal juga rasanya.!! menit ke 17…ke18..ke19..ke20 aku makin ga kuat…tangan dan jari makin gemetar. dan akhirnya..!! aku putuskan untuk menaruh gelas itu di meja dan mulai mengibas kibaskan tangan aku. saking pegal campur kesemutan ga karuan rasanya!! sambil juga tarik nafas dan buang nafas lega…*hah..!!*. Lama kelamaan tanganku jadi ringan, jadi enak. tak ada beban. bisa nafas lega tanpa harus ditahan tahan. seperti lepas dari tawanan!!

uhm..sambil bikin lemas tangan dan atur nafas…aku jadi berfikir. saat aku punya masalah, punya beban, punya kesulitan, punya rasa tidak bahagia, punya keanehan yang aku sadari itu tidak seharusnya terjadi padaku, aku seperti diriku yang menggenggam gelas berisi air putih. *gelas* yang merupakan beban atau ganjalan dalam hidupku itu, terus menerus aku ‘pegang’, aku ‘fikirkan’, aku genggam erat erat, jangan sampai bebanku itu lepas (seperti aku takut gelas itu lepas dari genggaman aku).

tapi apa yang terjadi?

semakin aku menggenggam beban, menyangga kesulitan, dan memikul ketidakbahagiaanku, semakin aku merasa berat dan pegal..!! seperti semakin erat aku pegang *gelas* itu, semakin aku rasakan sakit di sekujur tangan dan bahkan badan aku. apalagi, semakin lama aku pegang, semakin leluasa pula rasa sakit itu menguasai aku.

tapi ketika aku memutuskan untuk meletakkan bebanku, melepaskan bebanku, dan tidak membiarkan tangan tangan ku menggenggam gelas berisi air itu…!!!, apa aku alami?

kelegaan..
kelepasan..
suka cita..
damai..
tidak ada beban..
bisa nafas lega..

ternyata..bila aku melepas beban, dengan tidak keras kepala untuk terus menggenggam dan memikirkan, aku bisa merasakan kelegaan.

bahagia karena dicinta

seorang anak kecil yang baru lahir tak pernah kuatir akan *apa yang hendak aku makan hari ini? apa yang akan aku minum hari ini?* karena ia tahu dan yakin, bahwa orang tua yang melahirkan dia, pasti akan mengurusnya dengan baik, tanpa si anak kelaparan atau kedinginan. bahkan tanpa memintanya! ia yakin, kebutuhannya pasti dipenuhi. keyakinan dan kepasrahan anak itu, membuat ia bahagia, lega, dan hidup tanpa beban, karena percaya pada siapa yang mengurus hidupnya!

aku pun harus belajar, seperti anak kecil yang percaya pada ayah ibunya. ia sambil terus berlari lari kecil penuh keriangan, tawa dan sukacita, sambil hati kecilku ada suara berbisik *aku dicintai..!! aku dicintai…!!*

"...aku bahagia, kar'na dicinta, TERIMA KASIH.."

Monday, June 06, 2005

bebaaas..!!

bebaaaaaaaaass..!!!(*sambil tereak lega..!!*) akhirnya satu semester dengan 5 mata kuliah bisa dilewati dengan baik..dan ok banget..!! akhir mei adalah masa ujian akhir, yang bener-bener bikin gue kaya’ kuda tarik..kuda pacu..*hauahauahauha* but..it’s okay lah…semua deadline paper bisa dibikin walaupun dengan menguras otak dan menguras dompet (tagihan telkomnet melonjak tajam!!). tapi bersyukur deh, kelas batch 14 kuliah gue ini bener2 bikin semangat belajar. motivasi tinggi buat pingin tau dan mempertanyakan segala sesuatu. bikin gue ikutan ‘ketarik’ jadi pinter dikit lah..hehehehe..apalagi banyak mami mami temen sekelas yang dengan setia dan ikhlas menyediakan snack di sela sela ngantuknya mata kuliah. permen, taart, egg roll,macaroni panggang,brownies kukus, lasagna, cheese stick, lemper, risol, rajin berseliweran di kelas sambil menunggu dicomot satu satu dengan perut dan mata lapar.

sayang juga, ada beberapa temen yang *nyerah* (mundur kuliah)ditengah jalan. alasan waktu dan beratnya materi dan banyak buku yang harus dibaca, sepertinya alasan yang masuk akal sekali untuk berfikir dua kali untuk mengambil seabreg konsekuensi seseorang yang memutuskan ‘sekolah sambil bekerja’.

bidang ilmu yg relatif baru bagi saya membuat saya harus ekstra membaca buku-buku. tanpa membaca, fikiran jadi kosong sendiri, nggak nyambung dengan proses kuliah di kelas, dan daya analisa kasus jadi tumpul. teman-teman sekelas saya punya istilah unik untuk ‘syndrome’ macam ini. mereka sebut *GAPTOP* alias *gagap topik* untuk menandai fikiran yang gak nyambung sama yang diomongin dosen, karena ga ngerti konteks teorinya. Isitilah *DDR syndrome* juga sering keluar dari teman-teman, terutama kalau mulai kelas filsafat. (DDR syndrome = sindrom Daya Dong Rendah, “dong” bahasa jawa yang artinya ‘faham,mengerti’).

Perkuliahan weekend sabtu bikin ngantuk luar biasa, maklum, harus masuk pk.08:20 sampai 18:40 dan hanya dipotong istirahat makan siang, full 5 mata kuliah..!! hari minggu, benar-benar hari istirahat dan kadang-kadang masih mual rasanya membaca-baca buku kuliah. tapi kalau tidak dipaksakan, hari senin sampai hari jumat tidak akan ada waktu yang pas dan sehat untuk belajar, karena benar-benar sudah terlalu lelah kerja seharian. sampai pertengahan juli nanti, sedikit saya bisa merasakan ‘the real saturday’ …!! =)) buat beres beres rumah…atau..sekedar…menulis nulis tulisan sederhana untuk bisa anda baca dalam blog ini.

Friday, June 03, 2005

mall,plaza : dunia manusia dalam kepungan kepura-puraan

::Abstraksi
Konsep sebuah mall atau plaza, sebagai bangunan pusat perbelanjaan telah membentuk ‘komunitas budaya’ masyarakat perkotaan yang tunduk pada ‘hukum-hukum modernitas’ yang dibungkus dalam pranata ekonomi. Seragam-seragam modernitas dapat menjadi tameng aman masyarakat perkotaan dengan aksesoris-aksesoris modernitas yang ditawarkan dunia. Fenomenologi, sebagai suatu metode melihat suatu objek, cukup berhasil menghadirkan penampakan-penampakan gejala sosial masyarakat dunia mall/plaza. Secara sadar maupun tak sadar, fenomena kehidupan manusia modern yang tampak dalam kehidupan mall memunculkan ciri-ciri cacat modern, berupa kekaburan makna karena tumpukan keseolah-olahan. Lalu, bagaimana masyarakat modern melakukan ‘self-healing’ terhadap cacat-cacat modern jaman ini? Sebuah ide penyadaran masyarakat dengan cara komunikasi intersubjektif dalam masyarakat modern itu sendiri, kiranya menjadi jalan untuk penyadaran manusia modern atas kepungan kepura-puraan.

:: Pendahuluan

Konsep pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza, sudah tidak asing lagi, terutama bagi kita yang hidup dalam lingkungan kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Kehadiran mall dan plaza di kota-kota besar tidaklah sulit untuk dicari, ditandai dengan mudahnya kita menyebut dan menemukan pusat-pusat perbelanjaan yang tersebar luas di seluruh penjuru kota. Pembangunan pusat perbelanjaan dari waktu ke waktu berjalan sangat pesat. Hampir semua wilayah konsentrasi keramaian dan tempat tinggal masyarakat minimal memiliki satu pusat perbelanjaan. Konsep pusat perbelanjaan sudah menjadi ‘pengawal’ hidup masyarakat modern saat ini. Tanpa ‘pengawal’ dengan ‘seragam’ budaya mall dan plaza, seakan akan kehidupan masyarakat kota menjadi kurang ‘aman’ dan terkesan mengisolasi kita (kembali) ke kebudayaan kuno, lawas, tidak up to date. Maka tak heran, masyarakat modern perkotaan saat ini mengidentifikasikan kehidupan mall menjadi bagian dari budaya kesehariannya.

Menilik dengan jeli sebuah ‘ekosistem sosial’ dalam sebuah pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza adalah sesuatu yang menarik. Dengan memakai kacamata seorang fenomenolog dengan pemahaman fenomenologi, kita dapat melihat penampakan-penampakan gejala dalam komunitas mall. Penampakan-penampakan tak terduga muncul dikala kita melihat dengan jeli dengan kaca mata fenomenologi. Ada sebuah kesepian dalam keramaian. Ada kepalsuan keramahan yang tersungging di setiap mulut penjaga gerai dan perempuan-perempuan yang memegang setumpuk lembar aplikasi kartu kredit yang gigih ditawarkan pada pengunjung. Ada gambar-gambar manusia-manusia ideal yang sudah menjadi konstruksi ‘indah dipandang’ bagi sebuah masyarakat modern (gagah, berkulit putih, bersih, langsing, tinggi, berambut agak pirang dan sebagainya). Ada tatapan mata seseorang yang tekun melihat-lihat barang dagangan di gerai, tapi anehnya mulut orang itu menceracau seperti orang bicara sendiri yang diarahkan pada sebuah telepon genggam! Ada dua orang yang berhadapan, tatapan mata mereka berpalingan. Ada apa dengan dua orang itu? Ah…ternyata mereka sedang tidak bicara satu sama lain. Mereka bicara dengan ‘handphone’ mereka! Ada sekelompok perempuan muda yang bergegas-gegas mengaduk aduk tumpukan baju di sebuah peti gerai, dengan tulisan “discount 70% for all items” . Seakan-akan orang yang tak mau kehilangan kesempatan langka, atau jika tidak memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan itu, ada kematian yang segera melanda mereka, maka bergegaslah mereka mengaduk aduk dengan bersemangat!! Semua itu (antara lain) adalah penampakan yang muncul dalam lorong-lorong mall yang dapat penulis amati.

Demikian pula aroma-aroma budaya modern mulai merasuk dalam kehidupan dunia mall dan plaza. Simbol-simbol yang dihadirkan dalam budaya mall menjadi simbol-simbol yang sangat bermakna bagi manusia perkotaan. Lingkungan budaya mall memberi kepenuhan kebutuhan akan eksistensi seseorang yang menyandang status ‘masyarakat kota’. Tidak perlu melakukan transaksi pembelian di gerai-gerai. Cukup berpakaian ‘pantas’ dan (mungkin) sedikit berpura-pura dan memantas-mantas diri, melihat-lihat barang-barang yang ditawarkan, berjalan-jalan seperti orang mencari-cari sesuatu, menatap tegak kerumunan orang-orang yang juga sedang berjalan-jalan. Cukuplah sudah seseorang bisa memperoleh identitas ‘baru’ nya sebagai masyarakat modern.

::Isi

::::Menilik dari sudut pandang fenomenologi

Apa itu fenomenologi? Sebelum memahaminya, marilah kita kaji apa yang disebut dengan sebuah ‘fenomen’. Fenomen adalah segala sesuatu yang (dengan begitu saja, dengan alamiah, tanpa kita rekayasa atau kita buat) menampakan diri kepada kesadaran kita . Hasrat manusia ingin mengetahui sesuatu dilukiskan oleh filsuf Aristoteles dengan ungkapan ; “segala manusia ingin mengetahui” Ternyata ungkapan itu dapat kita saksikan baik dalam diri manusia secara perorangan, semenjak kecil hingga usia lanjut. Sebuah hasrat untuk mengenal, diikuti dengan adanya si pengenal dan yang dikenal. Yang satu (entah dalam bentuk si pengenal, atau dalam bentuk yang dikenal) tidak pernah ada tanpa yang lain, demikian pula sebaliknya. Kedua-duanya merupakan kesatuan asasi.

Kesatuan asasi antara keduanya itu sudah terungkap dalam kutipan kalimat pembukaan karya Aristoteles tadi. Ternyata, dalam hati dan akal manusia, terdapatlah keinginan atau keterarahan untuk mengetahui dan mengenal. Dan kalau kita menyelidiki apa yang dapat kita saksikan di luar dan di dalam diri kita, maka nyatalah, tidak pernah satu pengetahuan pun memuaskan hati atau akal budi manusia secara tuntas. Keterarahan dan intensionalitas yang terus-menerus bertanya itu terjadi dalam suatu hubungan timbal balik antara manusia dengan dunianya. Manusia akan terus menerus saling mengenal dan ingin dikenal, bahkan saling mengenalkan diri, agar saling memperkaya dan memperkembangkan.

Setelah kita memahami hakikat manusia yang ingin mengetahui segala sesuatu lewat fenomen-fenomen di sekitarnya, marilah kita fahami sebuah kata ; fenomenologi. Fenomenologi adalah ilmu tentang hal yang menampakan diri (fenomen-fenomen yang menampakan diri). Seorang fenomenolog meneliti apa (fenomen) yang timbul, dan bagaimana fenomen tersebut bisa timbul. Fenomenologi bersifat deskriptif, yaitu memaparkan objek dengan apa adanya. Dalam mengamati fenomen yang timbul, seorang pengamat haruslah bersikap sebagai seseorang yang seakan-akan tidak tahu menahu (bahkan sama sekali) tentang objek yang ditelitinya. Sekalipun seorang pengamat sudah pernah berperilaku seperti objek yang ia teliti (katakan, objek tersebut adalah manusia), ia pun harus melupakan, menyingkirkan, mengesampingkan pengalaman pribadi tersebut. Untuk itulah seorang fenomenolog harus bertolak pada kenyataan bahwa orang tidak tahu apa-apa tentang obyek yang diteliti. Setelah sikap ‘seolah-olah tidak tau’ itu sudah disandang, maka ia pun selanjutnya dapat membuka diri terhadap penampakan obyek itu apa adanya. Penampakan-penampakan pada fenomen itu dicatat dan direkam secara rinci, semua keanehan (yang mungkin pada awalnya merupakan sesuatu yang biasa) ditangkap sebagai fenomen berharga untuk menggambarkan dan memahami obyek pengamatan.

Lalu bagaimana tulisan ini mengkaitkan fenomenologi dengan dunia kehidupan mall dalam masyarakat perkotaan? Dalam pengamatan fenomenologi inilah, penulis mencoba mengamati obyek pengamatan, yaitu hiruk-pikuk dunia pusat perbelanjaan kota (mall) dengan segala fenomen-fenomennya. Penulis sebelumnya (dalam hidup keseharian) sudah pernah masuk dan menikmati kehidupan mall. Tapi dalam melakukan pengamatan kali ini, sejenak penulis melakukan pengendapan pengetahuan, pengalaman yang sebelumnya sudah diketahui penulis berkaitan dengan kehidupan manusia dan interaksi di dalam sebuah mall. Pengendapan pengetahuan awal (penyangkalan, penyingkiran) penulis berbuah pada teramatinya secara detail, perilaku manusia, kaitannya dengan interaksi dengan benda-benda, simbol-simbol, dan dengan manusia lainnya. Fenomen-fenomen yang ada menjadi bahan refleksi dan kaitan penulis dengan gejala postmodernisme yang timbul sebagai arah gerak peradaban saat ini.

:::Modernitas dan wajah dunia mall

Apakah modernitas itu? Mari kita tinjau dari substansi katanya yaitu “modern” (dalam bahasa Latin, moderna) yang artinya adalah “saat ini” . Modernitas terdiri atas empat elemen pokok. Pertama adalah subjektivitas yang relatif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kedua adalah subjektivitas berkaitan dengan kritik atau “refleksi”, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah. Ketiga adalah kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, progresif, unik, tak terulangi, dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber yang langka. Sebab itu modernitas mendukung rasionalitas, kritik dan progress (kemajuan). Elemen keempat adalah universalisme, yaitu elemen-elemen modernitas di atas bersifat normatif untuk segala masyarakat yang mau melangsungkan modernisasi. Sejak suatu masyarakat melangsungkan modernisasi, masyarakat itu kehilangan sikap naifnya dan melibatkan diri pada suatu “proyek sejarah universal” untuk mencapai tujuan tertentu di masa depan.

Elemen-elemen modernisasi bersifat universal, dapat kita buktikan dalam proyek modernisasi masyarakat kita sendiri, mulai dari pergerakan nasional, revolusi kemerdekaan dan era pembangunan (progress).

Skenario dan cerita besar era pembangunan membawa langkah-langkah manusia modern dalam penaklukan terhadap si ‘aku’ yang sebelum era modern terpenjara dengan tembok-tembok mitos, alam tak nyata dan keharusan tunduk pada ‘kolektivitas’ yang menjadi ciri masyarakat era pra-modern . Kesadaran modern muncul di Eropa dengan penemuan subjektivitas dan gerakan rasionalisme yang lalu ditanggapi dengan empirisme. Tokoh besar peranannya dalam membidani lahirnya modernisme adalah Rene Descartes . Dalam ungkapan masyurnya “cogito ergo sum” dirumuskan bentuk kesadaran yang baru itu. Pertama, “aku” ini adalah suatu subjek yang menghadapi alam lahiriah. Dalam arti inilah lingkungan batiniah bukan hanya dibedakan, melainkan juga dipisahkan dari lingkungan lahiriah. Kedua, bahwa pengetahuanku mengenai kenyataan itu hasil pemikiranku sendiri dan bukan diturunkan dari tradisi atau wahyu. Cogito adalah sebuah keyakinan yang sangat mendasar pada rasionalitas manusia, melebihi segala tafsiran dogmatis yang sudah ada. Karena itu, Descartes melandasi suatu bentuk kesadaran yang memahami kenyataan sebagai hasil perumusan rasional, atau rasionalisme.

Meskipun menyangkal beberapa aspek rasionalisme, empirisme tetap meneguhkan bahwa manusia adalah subjek pengetahuan, hanya sekarang pengetahuan didasarkan pada observasi dan pengalaman. Penemuan subjectum membalikkan pusat kenyataan. Bukanya lingkungan batiniah harus menyesuaikan diri dengan lingkungan lahiriahnya, melainkan sebaliknya, yang pertama harus menyesuaikan diri yang terakhir dengan norma-normanya.

Berpangkal dari hal ini, muncul beberapa aspek kesadaran modern lain yang biasanya disebut dengan beberapa istilah, yaitu progres, individuasi, emansipasi, dan sekularisasi. Yang pertama, progres atau kemajuan, adalah suatu kesadaran waaktu yang khas dalam modernitas. Masyarakat modern sadar bahwa waktu merupakan sebuah lorong penuh arus yang tak bisa diulang. Yang kini dan sekarang itu unik, akan kita pandang sekejap, lalu hilang, lewat, dan seketika menjadi suatu ‘kelampauan, keusangan, tak terulangi’ . Karena itu, kita bisa mengisi waktu mengandung potensi kreatif, sebab melalui waktu tersebut manusia menghasilkan peristiwa-peristiwa khas. Jika demikian, suatu seri waktu tidak sekedar berisi rentetan peristiwa tanpa arah. Setiap saat adalah potensi kreatif, maka harus merupakan perbaikan atas saat yang sebelumnya. “Yang kini” merupakan peningkatan kualitatif “yang lampau” dalam rangka lebih meningkatkannya dalam “kenantian”.

Penampakan dunia mall dengan sukses menampakkan ciri modern dalam peradaban manusia. Sifat progresif (berciri suatu kemajuan), tampak bila kita mengingat “sejarah” jejak ruang-ruang manusia bertukar kebutuhan barang dan jasa. Dunia mall menjadi fase modern manusia dalam beraktifitas jual-beli barang/jasa. Keriuhan simbol tampak dengan sangat jelas, lewat gambar-gambar sosok manusia ‘ideal’ (baik laki-laki maupun perempuan) yang cantik,gagah, putih, mulus, dan (mungkin) berwajah Eropa. Nyaris tak tampak ciri ‘keusangan’ peradaban manusia dalam ruang ini. Semuanya tampak baik, indah, menarik, demi memberi keyakinan pengunjung mall bahwa ‘barangsiapa memasuki arena ini, adalah manusia modern.

Dunia mall pun saat ini paling tidak dapat dikatakan sukes menciptakan suatu ‘kesadaran baru’ bagi manusia dalam ‘kebutuhan barunya’ diakui sebagai manusia modern. Begitu pesatnya pertumbuhan pusat-pusat berlanja berkonsep mall / plaza dengan keramaian pengunjungnya paling tidak menjadi penanda keberhasilan ‘proyek’ dunia mall abad ini. Anehnya, manusia modern juga merasa nyaman dengan pengkondisian ini. Manusia modern nyaman dengan kepungan kepura-puraan (simulacrum di dunia mall. Kepura-puraan kesan (lewat simbol dan aksesori), kepura-puraan ‘kenyamanan status manusia yang tidak ketinggalan zaman’ sepertinya sungguh dinikmati manusia.

Dunia mall pun diam-diam membisikkan cerita besar di telinga setiap orang yang ingin disebut ‘modern’ dengan seruan ‘Hai manusia, beginilah cara dan tempat belanja yang benar bagi era modern kini..!!’ Tumpukan-tumpukan keseolah-olahan terus ditimbunkan pada benak manusia abad ini dengan cerita besar gaya belanja modern.

Keseolah-olahan juga menampakkan diri dalam ke’semu’an sebuah ruang publik. Para pebisnis di bidang ini jeli melihat kebutuhan manusia perkotaan (terutama di Jakarta) akan kebutuhan ruang publik yang tak pernah digarap pemerintah sebagai pengelola ruang kota secara serius. Ruang mall menjadi imitasi kebutuhan ruang publik sesungguhnya dengan (lagi-lagi) keseolah-olahan siapa saja (tua,muda,miskin,kaya,cantik,buruk rupa) boleh ‘memiliki’ ruang bebasnya. Manusia pun seakan-akan memasuki ruang’ku’ , ruang ‘kita’ yang indah, mewah dan nyaman dalam lorong-lorong dan koridor-koridor belanja. Walaupun sesungguhnya kepenuhan makna ruang publik yang sesungguhnya tidak penuh dapat diberikan oleh ruang-ruang mall. Tragis memang, bila pada kenyataannya, kebutuhan manusia akan ruang publik seakan-akan dipenuhi dunia mall tanpa kesadaran manusia itu sendiri bahwa kebutuhannya ditunggangi kepentingan-kepentingan ekonomi belaka.

::Refleksi

Manusia dalam ruang zaman modern ternyata perlu memiliki kesadaran akan arus jaman. Kemana arus itu membawa manusia, dan bagaimana arus zaman modern memberikan ‘pakaian’ baru sebagai ‘seragam yang wajib disandang’ manusia dalam peradaban kini. Semuanya pun menjadi semu, seolah-olah, dan nyaris seperti aslinya. Tindakan ekonomi (seperti jual beli, promosi, iklan) bukanlah tindakan yang salah, karena lewat tindakan ekonomi, manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang perlu dicermati adalah kesadaran manusia zaman ini akan keseolah-olahan dan kepura-puraan yang sedang mengepungnya.

Dengan kesadaran ini, manusia diajak untuk tidak terseret arus konsumerisme dan hedonisme yang mengintip di sela-sela tembok ruang peradaban manusia modern abad ini. Setidaknya, manusia tidak menjadi budak modernisme, tapi bisa menjadi ‘tuan’ akan kesadaran penuh dirinya sebagai manusia yang memiliki kehendak bebas.

Akhirnya, biarlah ruang-ruang mall dan manusianya penuh dengan tumpukan keseolah-olahan. Namun, manusia perkotaan kiranya perlu menyadari hal tersebut sebagai ‘panggung’ modernitas dengan skenario zamannya. Dengan cara inilah, manusia tidak menjadi obyek peradaban, namun dapat menggunakan peradaban modern sebagai kendaraan menuju kehidupan manusia bebas, tanpa jajahan zaman.

Daftar Pustaka

Hardiman, F.Budi
Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius 2003

Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004

Verhaak, C dan Haryono Imam
“Filsafat Ilmu Pengetahuan-Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu” Gramedia – Jakarta 1989