::Abstraksi
Konsep sebuah mall atau plaza, sebagai bangunan pusat perbelanjaan telah membentuk ‘komunitas budaya’ masyarakat perkotaan yang tunduk pada ‘hukum-hukum modernitas’ yang dibungkus dalam pranata ekonomi. Seragam-seragam modernitas dapat menjadi tameng aman masyarakat perkotaan dengan aksesoris-aksesoris modernitas yang ditawarkan dunia. Fenomenologi, sebagai suatu metode melihat suatu objek, cukup berhasil menghadirkan penampakan-penampakan gejala sosial masyarakat dunia mall/plaza. Secara sadar maupun tak sadar, fenomena kehidupan manusia modern yang tampak dalam kehidupan mall memunculkan ciri-ciri cacat modern, berupa kekaburan makna karena tumpukan keseolah-olahan. Lalu, bagaimana masyarakat modern melakukan ‘self-healing’ terhadap cacat-cacat modern jaman ini? Sebuah ide penyadaran masyarakat dengan cara komunikasi intersubjektif dalam masyarakat modern itu sendiri, kiranya menjadi jalan untuk penyadaran manusia modern atas kepungan kepura-puraan.
:: Pendahuluan
Konsep pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza, sudah tidak asing lagi, terutama bagi kita yang hidup dalam lingkungan kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Kehadiran mall dan plaza di kota-kota besar tidaklah sulit untuk dicari, ditandai dengan mudahnya kita menyebut dan menemukan pusat-pusat perbelanjaan yang tersebar luas di seluruh penjuru kota. Pembangunan pusat perbelanjaan dari waktu ke waktu berjalan sangat pesat. Hampir semua wilayah konsentrasi keramaian dan tempat tinggal masyarakat minimal memiliki satu pusat perbelanjaan. Konsep pusat perbelanjaan sudah menjadi ‘pengawal’ hidup masyarakat modern saat ini. Tanpa ‘pengawal’ dengan ‘seragam’ budaya mall dan plaza, seakan akan kehidupan masyarakat kota menjadi kurang ‘aman’ dan terkesan mengisolasi kita (kembali) ke kebudayaan kuno, lawas, tidak up to date. Maka tak heran, masyarakat modern perkotaan saat ini mengidentifikasikan kehidupan mall menjadi bagian dari budaya kesehariannya.
Menilik dengan jeli sebuah ‘ekosistem sosial’ dalam sebuah pusat perbelanjaan seperti mall dan plaza adalah sesuatu yang menarik. Dengan memakai kacamata seorang fenomenolog dengan pemahaman fenomenologi, kita dapat melihat penampakan-penampakan gejala dalam komunitas mall. Penampakan-penampakan tak terduga muncul dikala kita melihat dengan jeli dengan kaca mata fenomenologi. Ada sebuah kesepian dalam keramaian. Ada kepalsuan keramahan yang tersungging di setiap mulut penjaga gerai dan perempuan-perempuan yang memegang setumpuk lembar aplikasi kartu kredit yang gigih ditawarkan pada pengunjung. Ada gambar-gambar manusia-manusia ideal yang sudah menjadi konstruksi ‘indah dipandang’ bagi sebuah masyarakat modern (gagah, berkulit putih, bersih, langsing, tinggi, berambut agak pirang dan sebagainya). Ada tatapan mata seseorang yang tekun melihat-lihat barang dagangan di gerai, tapi anehnya mulut orang itu menceracau seperti orang bicara sendiri yang diarahkan pada sebuah telepon genggam! Ada dua orang yang berhadapan, tatapan mata mereka berpalingan. Ada apa dengan dua orang itu? Ah…ternyata mereka sedang tidak bicara satu sama lain. Mereka bicara dengan ‘handphone’ mereka! Ada sekelompok perempuan muda yang bergegas-gegas mengaduk aduk tumpukan baju di sebuah peti gerai, dengan tulisan “discount 70% for all items” . Seakan-akan orang yang tak mau kehilangan kesempatan langka, atau jika tidak memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan itu, ada kematian yang segera melanda mereka, maka bergegaslah mereka mengaduk aduk dengan bersemangat!! Semua itu (antara lain) adalah penampakan yang muncul dalam lorong-lorong mall yang dapat penulis amati.
Demikian pula aroma-aroma budaya modern mulai merasuk dalam kehidupan dunia mall dan plaza. Simbol-simbol yang dihadirkan dalam budaya mall menjadi simbol-simbol yang sangat bermakna bagi manusia perkotaan. Lingkungan budaya mall memberi kepenuhan kebutuhan akan eksistensi seseorang yang menyandang status ‘masyarakat kota’. Tidak perlu melakukan transaksi pembelian di gerai-gerai. Cukup berpakaian ‘pantas’ dan (mungkin) sedikit berpura-pura dan memantas-mantas diri, melihat-lihat barang-barang yang ditawarkan, berjalan-jalan seperti orang mencari-cari sesuatu, menatap tegak kerumunan orang-orang yang juga sedang berjalan-jalan. Cukuplah sudah seseorang bisa memperoleh identitas ‘baru’ nya sebagai masyarakat modern.
::Isi
::::Menilik dari sudut pandang fenomenologi
Apa itu fenomenologi? Sebelum memahaminya, marilah kita kaji apa yang disebut dengan sebuah ‘fenomen’. Fenomen adalah segala sesuatu yang (dengan begitu saja, dengan alamiah, tanpa kita rekayasa atau kita buat) menampakan diri kepada kesadaran kita . Hasrat manusia ingin mengetahui sesuatu dilukiskan oleh filsuf Aristoteles dengan ungkapan ; “segala manusia ingin mengetahui” Ternyata ungkapan itu dapat kita saksikan baik dalam diri manusia secara perorangan, semenjak kecil hingga usia lanjut. Sebuah hasrat untuk mengenal, diikuti dengan adanya si pengenal dan yang dikenal. Yang satu (entah dalam bentuk si pengenal, atau dalam bentuk yang dikenal) tidak pernah ada tanpa yang lain, demikian pula sebaliknya. Kedua-duanya merupakan kesatuan asasi.
Kesatuan asasi antara keduanya itu sudah terungkap dalam kutipan kalimat pembukaan karya Aristoteles tadi. Ternyata, dalam hati dan akal manusia, terdapatlah keinginan atau keterarahan untuk mengetahui dan mengenal. Dan kalau kita menyelidiki apa yang dapat kita saksikan di luar dan di dalam diri kita, maka nyatalah, tidak pernah satu pengetahuan pun memuaskan hati atau akal budi manusia secara tuntas. Keterarahan dan intensionalitas yang terus-menerus bertanya itu terjadi dalam suatu hubungan timbal balik antara manusia dengan dunianya. Manusia akan terus menerus saling mengenal dan ingin dikenal, bahkan saling mengenalkan diri, agar saling memperkaya dan memperkembangkan.
Setelah kita memahami hakikat manusia yang ingin mengetahui segala sesuatu lewat fenomen-fenomen di sekitarnya, marilah kita fahami sebuah kata ; fenomenologi. Fenomenologi adalah ilmu tentang hal yang menampakan diri (fenomen-fenomen yang menampakan diri). Seorang fenomenolog meneliti apa (fenomen) yang timbul, dan bagaimana fenomen tersebut bisa timbul. Fenomenologi bersifat deskriptif, yaitu memaparkan objek dengan apa adanya. Dalam mengamati fenomen yang timbul, seorang pengamat haruslah bersikap sebagai seseorang yang seakan-akan tidak tahu menahu (bahkan sama sekali) tentang objek yang ditelitinya. Sekalipun seorang pengamat sudah pernah berperilaku seperti objek yang ia teliti (katakan, objek tersebut adalah manusia), ia pun harus melupakan, menyingkirkan, mengesampingkan pengalaman pribadi tersebut. Untuk itulah seorang fenomenolog harus bertolak pada kenyataan bahwa orang tidak tahu apa-apa tentang obyek yang diteliti. Setelah sikap ‘seolah-olah tidak tau’ itu sudah disandang, maka ia pun selanjutnya dapat membuka diri terhadap penampakan obyek itu apa adanya. Penampakan-penampakan pada fenomen itu dicatat dan direkam secara rinci, semua keanehan (yang mungkin pada awalnya merupakan sesuatu yang biasa) ditangkap sebagai fenomen berharga untuk menggambarkan dan memahami obyek pengamatan.
Lalu bagaimana tulisan ini mengkaitkan fenomenologi dengan dunia kehidupan mall dalam masyarakat perkotaan? Dalam pengamatan fenomenologi inilah, penulis mencoba mengamati obyek pengamatan, yaitu hiruk-pikuk dunia pusat perbelanjaan kota (mall) dengan segala fenomen-fenomennya. Penulis sebelumnya (dalam hidup keseharian) sudah pernah masuk dan menikmati kehidupan mall. Tapi dalam melakukan pengamatan kali ini, sejenak penulis melakukan pengendapan pengetahuan, pengalaman yang sebelumnya sudah diketahui penulis berkaitan dengan kehidupan manusia dan interaksi di dalam sebuah mall. Pengendapan pengetahuan awal (penyangkalan, penyingkiran) penulis berbuah pada teramatinya secara detail, perilaku manusia, kaitannya dengan interaksi dengan benda-benda, simbol-simbol, dan dengan manusia lainnya. Fenomen-fenomen yang ada menjadi bahan refleksi dan kaitan penulis dengan gejala postmodernisme yang timbul sebagai arah gerak peradaban saat ini.
:::Modernitas dan wajah dunia mall
Apakah modernitas itu? Mari kita tinjau dari substansi katanya yaitu “modern” (dalam bahasa Latin, moderna) yang artinya adalah “saat ini” . Modernitas terdiri atas empat elemen pokok. Pertama adalah subjektivitas yang relatif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kedua adalah subjektivitas berkaitan dengan kritik atau “refleksi”, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah. Ketiga adalah kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, progresif, unik, tak terulangi, dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber yang langka. Sebab itu modernitas mendukung rasionalitas, kritik dan progress (kemajuan). Elemen keempat adalah universalisme, yaitu elemen-elemen modernitas di atas bersifat normatif untuk segala masyarakat yang mau melangsungkan modernisasi. Sejak suatu masyarakat melangsungkan modernisasi, masyarakat itu kehilangan sikap naifnya dan melibatkan diri pada suatu “proyek sejarah universal” untuk mencapai tujuan tertentu di masa depan.
Elemen-elemen modernisasi bersifat universal, dapat kita buktikan dalam proyek modernisasi masyarakat kita sendiri, mulai dari pergerakan nasional, revolusi kemerdekaan dan era pembangunan (progress).
Skenario dan cerita besar era pembangunan membawa langkah-langkah manusia modern dalam penaklukan terhadap si ‘aku’ yang sebelum era modern terpenjara dengan tembok-tembok mitos, alam tak nyata dan keharusan tunduk pada ‘kolektivitas’ yang menjadi ciri masyarakat era pra-modern . Kesadaran modern muncul di Eropa dengan penemuan subjektivitas dan gerakan rasionalisme yang lalu ditanggapi dengan empirisme. Tokoh besar peranannya dalam membidani lahirnya modernisme adalah Rene Descartes . Dalam ungkapan masyurnya “cogito ergo sum” dirumuskan bentuk kesadaran yang baru itu. Pertama, “aku” ini adalah suatu subjek yang menghadapi alam lahiriah. Dalam arti inilah lingkungan batiniah bukan hanya dibedakan, melainkan juga dipisahkan dari lingkungan lahiriah. Kedua, bahwa pengetahuanku mengenai kenyataan itu hasil pemikiranku sendiri dan bukan diturunkan dari tradisi atau wahyu. Cogito adalah sebuah keyakinan yang sangat mendasar pada rasionalitas manusia, melebihi segala tafsiran dogmatis yang sudah ada. Karena itu, Descartes melandasi suatu bentuk kesadaran yang memahami kenyataan sebagai hasil perumusan rasional, atau rasionalisme.
Meskipun menyangkal beberapa aspek rasionalisme, empirisme tetap meneguhkan bahwa manusia adalah subjek pengetahuan, hanya sekarang pengetahuan didasarkan pada observasi dan pengalaman. Penemuan subjectum membalikkan pusat kenyataan. Bukanya lingkungan batiniah harus menyesuaikan diri dengan lingkungan lahiriahnya, melainkan sebaliknya, yang pertama harus menyesuaikan diri yang terakhir dengan norma-normanya.
Berpangkal dari hal ini, muncul beberapa aspek kesadaran modern lain yang biasanya disebut dengan beberapa istilah, yaitu progres, individuasi, emansipasi, dan sekularisasi. Yang pertama, progres atau kemajuan, adalah suatu kesadaran waaktu yang khas dalam modernitas. Masyarakat modern sadar bahwa waktu merupakan sebuah lorong penuh arus yang tak bisa diulang. Yang kini dan sekarang itu unik, akan kita pandang sekejap, lalu hilang, lewat, dan seketika menjadi suatu ‘kelampauan, keusangan, tak terulangi’ . Karena itu, kita bisa mengisi waktu mengandung potensi kreatif, sebab melalui waktu tersebut manusia menghasilkan peristiwa-peristiwa khas. Jika demikian, suatu seri waktu tidak sekedar berisi rentetan peristiwa tanpa arah. Setiap saat adalah potensi kreatif, maka harus merupakan perbaikan atas saat yang sebelumnya. “Yang kini” merupakan peningkatan kualitatif “yang lampau” dalam rangka lebih meningkatkannya dalam “kenantian”.
Penampakan dunia mall dengan sukses menampakkan ciri modern dalam peradaban manusia. Sifat progresif (berciri suatu kemajuan), tampak bila kita mengingat “sejarah” jejak ruang-ruang manusia bertukar kebutuhan barang dan jasa. Dunia mall menjadi fase modern manusia dalam beraktifitas jual-beli barang/jasa. Keriuhan simbol tampak dengan sangat jelas, lewat gambar-gambar sosok manusia ‘ideal’ (baik laki-laki maupun perempuan) yang cantik,gagah, putih, mulus, dan (mungkin) berwajah Eropa. Nyaris tak tampak ciri ‘keusangan’ peradaban manusia dalam ruang ini. Semuanya tampak baik, indah, menarik, demi memberi keyakinan pengunjung mall bahwa ‘barangsiapa memasuki arena ini, adalah manusia modern.
Dunia mall pun saat ini paling tidak dapat dikatakan sukes menciptakan suatu ‘kesadaran baru’ bagi manusia dalam ‘kebutuhan barunya’ diakui sebagai manusia modern. Begitu pesatnya pertumbuhan pusat-pusat berlanja berkonsep mall / plaza dengan keramaian pengunjungnya paling tidak menjadi penanda keberhasilan ‘proyek’ dunia mall abad ini. Anehnya, manusia modern juga merasa nyaman dengan pengkondisian ini. Manusia modern nyaman dengan kepungan kepura-puraan (simulacrum di dunia mall. Kepura-puraan kesan (lewat simbol dan aksesori), kepura-puraan ‘kenyamanan status manusia yang tidak ketinggalan zaman’ sepertinya sungguh dinikmati manusia.
Dunia mall pun diam-diam membisikkan cerita besar di telinga setiap orang yang ingin disebut ‘modern’ dengan seruan ‘Hai manusia, beginilah cara dan tempat belanja yang benar bagi era modern kini..!!’ Tumpukan-tumpukan keseolah-olahan terus ditimbunkan pada benak manusia abad ini dengan cerita besar gaya belanja modern.
Keseolah-olahan juga menampakkan diri dalam ke’semu’an sebuah ruang publik. Para pebisnis di bidang ini jeli melihat kebutuhan manusia perkotaan (terutama di Jakarta) akan kebutuhan ruang publik yang tak pernah digarap pemerintah sebagai pengelola ruang kota secara serius. Ruang mall menjadi imitasi kebutuhan ruang publik sesungguhnya dengan (lagi-lagi) keseolah-olahan siapa saja (tua,muda,miskin,kaya,cantik,buruk rupa) boleh ‘memiliki’ ruang bebasnya. Manusia pun seakan-akan memasuki ruang’ku’ , ruang ‘kita’ yang indah, mewah dan nyaman dalam lorong-lorong dan koridor-koridor belanja. Walaupun sesungguhnya kepenuhan makna ruang publik yang sesungguhnya tidak penuh dapat diberikan oleh ruang-ruang mall. Tragis memang, bila pada kenyataannya, kebutuhan manusia akan ruang publik seakan-akan dipenuhi dunia mall tanpa kesadaran manusia itu sendiri bahwa kebutuhannya ditunggangi kepentingan-kepentingan ekonomi belaka.
::Refleksi
Manusia dalam ruang zaman modern ternyata perlu memiliki kesadaran akan arus jaman. Kemana arus itu membawa manusia, dan bagaimana arus zaman modern memberikan ‘pakaian’ baru sebagai ‘seragam yang wajib disandang’ manusia dalam peradaban kini. Semuanya pun menjadi semu, seolah-olah, dan nyaris seperti aslinya. Tindakan ekonomi (seperti jual beli, promosi, iklan) bukanlah tindakan yang salah, karena lewat tindakan ekonomi, manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang perlu dicermati adalah kesadaran manusia zaman ini akan keseolah-olahan dan kepura-puraan yang sedang mengepungnya.
Dengan kesadaran ini, manusia diajak untuk tidak terseret arus konsumerisme dan hedonisme yang mengintip di sela-sela tembok ruang peradaban manusia modern abad ini. Setidaknya, manusia tidak menjadi budak modernisme, tapi bisa menjadi ‘tuan’ akan kesadaran penuh dirinya sebagai manusia yang memiliki kehendak bebas.
Akhirnya, biarlah ruang-ruang mall dan manusianya penuh dengan tumpukan keseolah-olahan. Namun, manusia perkotaan kiranya perlu menyadari hal tersebut sebagai ‘panggung’ modernitas dengan skenario zamannya. Dengan cara inilah, manusia tidak menjadi obyek peradaban, namun dapat menggunakan peradaban modern sebagai kendaraan menuju kehidupan manusia bebas, tanpa jajahan zaman.
Daftar Pustaka
Hardiman, F.Budi
Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius 2003
Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004
Verhaak, C dan Haryono Imam
“Filsafat Ilmu Pengetahuan-Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu” Gramedia – Jakarta 1989